VARIETAS, BUDIDAYA, PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN, SERTA PROSES EKSTRAKSI DAN APLIKASI OLAHAN JAHE
Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
kaya akan rempah-rempah, seperti jahe, nilam, cengkeh, pala, kapulaga, sereh
wangi, mawar, dan lain-lain.Rempah-rempah telah dikenal luas
penggunaannya sebagai pemberi cita rasa atau bumbu pada makanan dan di samping
itu rempah-rempah banyak digunakan sebagai obat-obatan dalam bentuk jamu
tradisional. Rempah-rempah adalah suatu produk pertanian yang mempunyai nilai
ekonomis sangat tinggi. Rempah-rempah mempunyai kandungan kimiawi dan mineral
yang berbeda daripada produk pertanian yang lainnya, sehingga rempah-rempah
menjadi produk ekspor yang sangat diminati oleh semua negara.
Jahe (Zingiber
officinale) merupakan salah satu komoditas rempah-rempah yang mempunyai
nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena memiliki banyak kegunaan, baik sebagai
minuman penghangat, penambah rasa, dan sebagai bahan baku obat tradisional,
parfum, serta kosmetik. Penggunaan rimpang jahe secara spesifik tergantung
kepada varietas jenis jahe yang digunakan. Hal ini disebabkan karena setiap
varietas jahe memiliki perbedaan dalam jumlah komponen bioaktif yang terkandung
didalamnya. Menurut Yuliani et al. (1991),
jahe putih besar umumnya digunakan sebagai makanan dan minuman karena rasanya
yang tidak terlalu pedas. Jahe putih kecil yang memiliki rasa lebih pedas dari
jahe putih besar umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri, dan
pembuatan oleoresin, serta banyak dimanfaatkan sebagai jamu. Sedangkan jahe
merah mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi.
Bahan baku obat tradisional ini mempunyai beberapa kegunaan bagi
kesehatan seperti mengobati sakit gigi, malaria, rematik, sembelit, batuk,
kedinginan dan sebagai sumber antioksidan (Asosiasi Petani dan Produsen Jahe
Indonesia, 2013). Daya guna tersebut pada umumnya disebabkan oleh senyawa
bioaktif yang terkandung dalam rimpang jahe, seperti senyawa fenolik, minyak
atsiri, resin, asam-asam organik, asam malat, asam oksalat, dan gingerin (DepKes, 1989). Minyak
atsirinya terdiri dari zingeron, zingiberen, zingiberol, geraniol, curcumen, bisapolen, borneol, dan linalool (Hasanah, tanpa tahun).
Salah satu bentuk produk olahan jahe adalah oleoresindan
minyak atsiri.Oleoresin dan minyak atisiri jahe digunakan secara meluas dalam
industri pangan, dalam campuran minyak untuk flavor permen, minuman keras, dan
saos. Pada umumnya oleoresin dan minyak atsiri jahe diperoleh melalui proses ekstraksi.
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain melalui destilasi
uap, ekstraksi padat cair, ekstraksi superkritis, dan pengepresan mekanis.
Setiap teknik ekstraksi memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda,
sehingga akan menghasilkan oleoresin dan minyak atsiri dengan mutu yang berbeda
pula.
Mengingat spektrum kegunaannya yang cukup luas dan nilai
ekonomi yang cukup tinggi, maka tanaman jahe perlu dikembangkan secara
intensif. Akan tetapi, permasalahan utama dalam pengembangan jahe adalah
kurangnya informasi mengenai teknik budidaya, panen, dan pascapanen, sehingga
menyebabkan mutu jahe yang dihasilkan menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, untuk
memecahkan permasalahan tersebut pada makalah ini akan dibahas mengenai teknik
budidaya, panen, dan pascapanen jahe, serta standar mutu jahesegar guna
meningkatkan nilai ekonomi dan mutu jahe.
Selain itu, makalah ini juga akan membahas mengenai berbagai
bentuk olahan jahe, terutama minyak atsiri dan oleoresin jahe, termasuk teknik
ekstraksi dan standarisasi mutunya, serta aplikasi jahe dalam berbagai bidang.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini antara lain:
1.
Memenuhi tugas mata
kuliah Teknologi Rempah-Rempah dan Minyak Atsiri.
2.
Mempelajari jenis-jenis
jahe, serta teknik budidaya, panen, dan pascapanen jahe.
3.
Mempelajarikarakteristik,
teknik ektraksi, dan standarisasi mutu oleoresin dan minyak atsiri jahe.
4. Mempelajari berbagai hasil olahan jahe dan aplikasinya pada berbagai bidang.
II. PEMBAHASAN
A. Jahe
1. Uraian Tanaman
a.
Sejarah singkat
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan rempah-rempah
Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
bidang kesehatan. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang
semu dan termasuk dalam suku Zingiberaceae.
Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina (Paimin dan
Murhananto, 2008). Nama Zingiber berasal dari bahasa
Sansekerta “singabera” dan Yunani “Zingiberi” yang berarti tanduk, karena
bentuk rimpang jahe mirip dengan tanduk rusa. Officinale merupakan bahasa latin
(officina) yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan (Janson, 1981 dalam Warintek, 2014).
Jahe dikenal dengan nama
umum (Inggris) ginger atau garden ginger. Nama ginger berasal dari
bahasa Perancis: gingembre, bahasa
Inggris lama: gingifere, Latin: ginginer, dan Yunani (Greek): zingiberis. Namun kata asli dari
zingiber berasal dari bahasa Tamil inji ver. Istilah botani untuk akar dalam
bahasa Tamil adalah ver, jadi akar inji adalah inji ver. Di Indonesia, jahe memiliki
berbagai nama daerah. Di Sumatra disebut halia (Aceh). Di Jawa, jahe dikenal
dengan jahe (Sunda), jae (Jawa). Di Sulawesi, jahe dikenal dengan nama layu
(Mongondow). Di Kalimantan (Dayak), jahe dikenal dengan sebutan lai, di
Banjarmasin disebut tipakan. Di Maluku, jahe disebut hairalo (Amahai). Di
Papua, jahe disebut tali (Kalanapat) dan sebagainya. Adanya nama daerah jahe di
berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan penyebaran jahe meliputi seluruh
wilayah Indonesia.
b. Sistematika
Sistematika
Tanaman Rimpang Jahe (Roscoe, 1817 dalamWarintek, 2014):
Super
Divisi : Spermatophyta
Divisi :
Magnoliophyta/Pteridophyyta,
Sub-divisi :
Angiospermae
Kelas :
Liliopsida-Monocotyledoneae
Subkelass :
Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species :
Zingiber officinale
c.
Deskripsi/Morfologi
Tanaman
jahe termasuk tanaman rumput-rumputan tegak dengan ketinggian 30-75 cm, berdaun
sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15-23 cm, lebar lebih kurang dua
2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau bunganya kuning
kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-bintik putih kekuningan dan
kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang bercabang-cabang dan berbau harum,
berwarna kuning atau jingga dan berserat (Paimin dan Murhananto, 2008; Rukmana,
2000).
Secara morfologi, tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang,
daun, dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin
membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunas-tunas
yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Akar tumbuh dari bagian bawah rimpang,
sedangkan tunas akan tumbuh dari bagian atas rimpang. Batang pada tanaman jahe
merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus, berbentuk bulat pipih, tidak
bercabang tersusun atas seludang-seludang dan pelepah daun yang saling menutup
sehingga membentuk seperti batang. Rimpang jahe merupakan modifikasi bentuk
dari batang tidak teratur. Bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang
berbentuk sisik tipis, tersusun melingkar. Rimpang adalah bagian tanaman jahe
yang memiliki nilai ekonomi dan dimanfatkan untuk berbagai keperluan antara
lain sebagai rempah, bumbu masak, bahan baku obat tradisional, makanan dan
minuman serta parfum. Bunga pada tanaman jahe terletak pada ketiak daun
pelindung (Bermawie dan Purwiyanti, 2014).
Jahe merupakan tanaman yang bersifat self incompatible (Dhamayanthi et al., 2003 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014) dan posisi kepala putik lebih
tinggi dibandingkan kepala sari (Pillai et
al., 1978 dalam Bermawie dan
Purwiyanti, 2014). Struktur seperti ini mengakibatkan sistem penyerbukan jahe
adalah menyerbuk silang. Buah berbentuk bulat panjang, berkulit tipis berwarna
merah yang memiliki tiga ruang berisi masing masing banyak bakal biji berwarna
hitam dan memiliki selaput biji (Rugayah 1994). Tetapi pada jahe yang ditanam
secara komersial jarang berbuah dan berbiji yang kemungkinan disebabkan karena
tepung sari jahe steril (Bermawie dan Purwiyanti, 2014).
2.
Jenis
Menurut Rumpfius dalam
bukunya Herbarium Amboinense, jahe dibagi menjadi 2 jenis yaitu Zingiber majus
(rimpang besar) dan Zingiber minus (rimpang kecil). Sementara itu Vonderman
dalam buku Tidjschr voor Ind Geneeskundegen memberi nama jenis Z. rubrum untuk jenis jahe merah dari Z. minus Rumpf. Valeton memberi nama
sunti untuk Z. minus Rumpf baik yang
berwarna merah maupun putih, namun terutama untuk jenis jahe merah (Burkill,
1935). Heyne (1988) dalam Bermawie
dan Purwiyanti (2014) menyatakan di dunia dikenal ada 2 macam jahe yang
perbedaannya terletak pada warna rimpang yaitu merah dan putih. Jamaika
mengenal 4 tipe jahe yaitu haliya bara, haliya udang dan dua tipe jahe merah
yang beraroma sangat tajam dan hanya digunakan sebagai obat, sedangkan di
British Salomon dikenal lima tipe jahe. Tindall (1968) dalam Bermawie dan Purwiyanti (2014) menyatakan di Afrika Barat
terdapat 2 tipe jahe yang berbeda pada warna rimpangnya yaitu merah ungu dan
putih kekuningan. Ridley (1912) dalam Bermawie
dan Purwiyanti (2014) menyatakan di Malaysia ditemukan 3 bentuk jahe yaitu
halia betel (jahe), halia bara atau halia padi dengan rimpang berukuran lebih
kecil berwarna kekuningan, daun lebih sempit, rasa lebih pedas, agak sedikit
pahit dan hanya digunakan untuk pengobatan, halia udang yaitu jahe merah (Z. officinale var. rubrum) dengan warna
merah pada pangkal akar udara. Di Jepang, jahe terbagi menjadi 3 kelompok yaitu
jahe yang berukuran rimpang kecil dan akarnya banyak, rimpang dan akar sedang
serta yang berukuran besar dengan akar sedikit.
Berdasarkan
ukuran, bentuk dan warna rimpang, jahe di Indonesia dibedakan menjadi tiga
jenis yakni jahe merah (Z. officinale
var. rubrum), jahe putih kecil (Z.
officinale var. amarum) dan jahe putih besar (Z. officinale var. officinale) (Bermawie dan Purwiyanti, 2014;
Harmono dan Andoko, 2005; Yulianto dan Parjanto, 2010). Ketiga jenis jahe
tersebut memiliki perbedaan morfologi pada ukuran dan warna kulit rimpang
(Rostiana et al., 1991 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014),
akar, batang, kadar minyak atsiri, kadar pati dan kadar serat (Bermawie, 2003).
Perbedaan karakteristik dari ketiga jenis jahe tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1.
Karakteristik dari ketiga jenis jahe
Karakteristik |
Jenis jahe |
||
Jahe besar |
Jahe kecil |
Jahe merah |
|
Karakteristik rimpang |
|
|
|
Minyak atsiri |
1.62-2,29 |
3,05-3,48 |
3,90 |
Kadar pati |
55,10 |
54,70 |
44,99 |
Kadar serat |
6,89 |
6,59 |
- |
Kadar abu |
6,60-7,57 |
7,39-8,90 |
7,46 |
Karakteristik
minyak |
|
|
|
Bobot jenis |
0,9434 |
0,9320 |
0,9533 |
Indeks bias |
1,4955 |
1,4946 |
1,4949 |
Putaran optik |
-16,30 |
-13,20 |
- |
Bilangan
penyabunan |
18,20 |
15,30 |
16,40 |
Sumber:
Yuliani dan Risfaheri (1990)
a.
Jahe putih/kuning besar (Z. officinale var. officinale) disebut juga jahe gajah atau jahe
badak.
Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya
besar dan gemuk, warna kuning muda atau kuning, berserat halus dan sedikit.
Beraroma tapi berasa kurang tajam. Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun
tua, baik sebagai jahe segar maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan sebagai
bahan baku makanan dan minuman.
Gambar 1. Jahe
putih besar
b.
Jahe putih/kuning kecil (Z. officinale var. amarum) disebut juga jahe sunti atau jahe
emprit.
Gambar 2. Jahe putih kecil
c. Jahe
merah (Z. officinale var. rubrum)
Jahe merah
ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah jingga, berserat
kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Diduga di Indonesi terdapat 2 macam
jahe merah, yaitu rimpang besar dan rimpang kecil seperti yang dilaporkan
Rumpfius dan Valeton tentang adanya 2 jenis jahe merah yaitu yang berukuran
rimpang besar dan yang berukuran rimpang kecil. Dipanen setelah tua dan
memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil sehingga jahe merah pada
umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan.
Gambar 3. Jahe
merah
Hasil analisis keragaman jahe menggunakan
marka molekuler (AFLP, ISSR atau RAPD) diketahui bahwa keragaman genetik jahe
dari India dan Indo China (Myanmar) lebih luas dibandingkan dengan karagaman
genetik jahe Indonesia. Selain itu marka RAPD telah banyak digunakan untuk
membantu mengidentifikasi beberapa spesies Zingiberaceae, keragaman dalam
spesies Zingiber officinale (Hsiang
dan Huang, 2000 dalam Bermawie dan
Purwiyanti, 2014), keragaman beberapa species Zingiber spp. (Dasuki et al., 2000) serta keragaman antar
varietas jahe komersial dari Z.
officinale (Nayak et al., 2005 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014).
Berdasarkan marka AFLP, keragaman pada
masing masing varietas jahe di Indonesia sangat sempit, bahkan keragaman
kelompok jahe putih besar lebih sempit dibandingkan dengan jahe putih kecil dan
jahe merah dan pengelompokan jahe berdasarkan karakteristik morfologi tidak
sejalan dengan hasil pengelompokkan berdasarkan AFLP (Wahyuni et al., 2003) dan RAPD (Purwiyanti,
2012). Di India, pengelompokkan jahe berdasarkan aktivitas antioksidan
menghasilkan pengelompokkan yang selaras dengan dengan pola pita RAPD (Gosh dan
Mandi, 2011 dalam Bermawie dan
Purwiyanti, 2014). Purwiyanti (2012) menggunakan karakter morfologi dan profil
pita RAPD menemukan bahwa keragaman genetik dalam kultivar jahe putih kecil (Z. officinale var amarum) dan jahe
merah (Z. officinale var. rubrum)
yang diperoleh dari wilayah Indonesia lebih luas dibandingkan dengan yang
dilaporkan Wahyuni et al. (2003).
Marka DNA (RAPD) juga cukup sensitif untuk mendeteksi perbedaan genetik pada
berbagai varian jahe (Rout et al.,
1998 dalam Bermawie dan Purwiyanti,
2014).
Di India juga juga ditemukan perbedaan pada
pola pita RAPD pada jahe yang tumbuh di dataran tinggi dengan yang tumbuh di
dataran rendah (Sajeev et al., 2011 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014).
Namun jahe yang berasal dari daerah yang sama kebanyakan memiliki pola pita
yang tidak berbeda (Kizhakkayil dan Sasikumar, 2010 dalam Bermawie dan Purwiyanti, 2014). Hal ini menunjukkan marka
molekuler lebih akurat dalam mendeteksi perbedaan varietas pada jahe, sekalipun
secara morfologi seringkali tidak bisa dibedakan. Banyaknya perbedaan pada pola
pita berdasarkan marka molekuler menunjukkan bahwa telah terbentuk berbagai
varian genetik jahe akibat adaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda dalam
jangka waktu yang lama yang menjadi dasar pembentukan berbagai varietas jahe.
Oleh sebab itu, program pembentukan varietas pada jahe dapat dilakukan melalui
seleksi keragaman genetik dari populasi yang ada di alam.
Hasil seleksi keragaman populasi di alam, telah dihasilkan
beberapa varietas dari masing masing kultivar yaitu Cimanggu1 untuk jahe putih
besar, Halina1, Halina2, Halina3 dan Halina4 untuk jahe putih kecil serta Jahira1
dan Jahira2 untuk jahe merah dengan karakteristik sifat morfologi yang
berbeda-beda (Deptan, 2007). Varietas tersebut diperoleh dari hasil seleksi
pada jahe yang terdapat di berbagai wilayah Indonesia untuk karakter
produktivitas dan mutu (kadar minyak atsiri) yang tinggi. Selain varietas
tersebut masih terbuka peluang ditemukannya varietas baru dari keragaman
genetik jahe yang ada di alam dari masing masing kultivar Z. officinale var. officinale, Z.
officinale var. amarum atau Z.
officinale var. rubrum untuk berbagai sifat antara lain untuk varietas
toleran penyakit, toleran cekaman lingkungan, hemat pupuk (low input).
Pengumpulan keragaman genetik jahe dari alam akan mempercepat dan mempermudah
program pemuliaan menghasilkan varietas baru yang sesuai dengan selera konsumen
(Bermawie
dan Purwiyanti, 2014).
3. Budidaya
Budidaya tanaman jahe menurut
Warintek (2014) diantaranya sebagai berikut:
a. Syarat tumbuh
Agar diperoleh rimpang yang gemuk
berdaging, tanaman jahe sebaiknya ditanam di tanah yang banyak mengandung bahan
organik atau humus dan drainase yang baik. Tekstur tanah yang baik adalah
lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik. Tanaman jahe dapat tumbuh
pada keasaman tanah (pH) sekitar 4,3-7,4. Tetapi keasaman tanah (pH) optimum
untuk jahe gajah adalah 6,8-7,0. Tanaman jahe umumnya ditanam pada daerah
tropik dan sub tropik yang mendapat curah hujan yang agak merata sepanjang
tahun dan curah hujan yang cocok berkisar antara 2.500-4.000 mm/tahun. Selain
itu tanaman jahe paling cocok ditanam pada ketinggian antara 0-2.000 m dpl.
Pada umur 2,5 sampai 7 bulan atau lebih tanaman jahe memerlukan sinar matahari.
Dengan kata lain penanaman jahe dilakukan di tempat yang terbuka sehingga
mendapat sinar matahari sepanjang hari. Suhu udara optimum untuk budidaya
tanaman jahe antara 20-35°C.
b. Pembibitan
Tanaman jahe diperbanyak secara vegetatif dengan
menggunakan rimpang. Pemilihan bibit disesuaikan dengan tujuan produksi. Untuk
produksi segar baik tua maupun muda hendaklah ditanam jahe gajah. Sementara
untuk produksi minuman, rempah-rempah, obat tradisional dan minyak arsiri
memakai jenis jahe putih kecil dan klon jahe merah.
Bibit hendaklah berasal dari tanaman
yang baik yaitu:
·
Berasal dari tanaman yang tua dimana
tajuknya mengering umur 9 – 10 bulan
·
Berasal dari tanaman yang sehat terutama tidak terserang
penyakit layu bakteri, busuk rimpang dan lalat rimpang.
·
Tidak memar dan kulit tidak lecet.
·
Bahan bibit diambil langsung dari kebun
Bibit diambil dari potongan rimpang dengan 1-2 mata
tunas yang telah tumbuh, dengan berat 20 – 40 gram untuk jahe putih kecil dan
jahe merah sedangkan jahe gajah seberat 25 – 60 gram. Kebutuhan bibit tiap
hektar tergantung jenis dan jarak tanam, untuk jahe putih kecil dan jahe merah
membutuhkan bibit sebanyak 1-2 ton/ha sedangkan untuk jahe gajah membutuhkan
bibit sebanyak 2-3 ton/ha. Bila dipanen muda dapat ditanam lebih rapat lagi
sehingga kebutuhan bibit lebih banyak yaitu 4 – 6 ton/ha dengan populasi
tanaman sekitar 80.000 tanaman/ha.
Sebelum ditanam bibit perlu diperlakukan sebagai
berikut:
·
Bibit disimpan pada tempat yang cukup
lembab dan gelap sampai terbentuk tunas.
·
Bibit dipotong sesuai ukuran yaitu 1 –2
tunas yang tumbuh.
·
Potongan bibit direndam dalam Agrimicin
0,1 % selama 8 jam.
Bagian bibit yang terluka dicelupkan kedalam larutan
kental abu dapur atau bisa ditambah fungisida Dithane M 45 atau Benlate.
c. Penanaman
Tanah diolah sampai gembur dengan
mencangkul sedalam lebih kurang 30 cm. kemudian dibuat saluran drainase agar
air tidak tergenang. Setelah tanah diolah kemudian diberi pupuk kandang
sebanyak 20-30 ton/ha dan di atas pupuk kandang diberikan pupuk SP 36 sebanyak
300-400 kg/ha. Tanah yang kandungan liatnya tinggi dapat diberi alas sekam
sebanyak 5 ton/ha sebelum diberi pupuk kandang. Hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain: penentuan pola tanaman, memperbaiki sifat fisik dan mengawetkan
tanah akibat rendahnya pertumbuhan gulma (tanaman pengganggu), pembuatan lubang
tanam, cara penanaman, dan periode tanam.
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan
terdiri dari penyulaman (2-3 minggu setelah tanam untuk melihat rimpang yang
mati), penyiangan (tergantung pada
kondisi tanaman pengganggu yang tumbuh, namun setelah jahe berumur 6-7 bulan,
sebaiknya tidak perlu dilakukan penyiangan lagi, sebab pada umur tersebut
rimpangnya mulai besar), pembubunan (menimbun rimpang jahe yang kadang-kadang
muncul ke atas permukaan tanah), pemupukan (organik dan konvensional),
pengairan dan penyiraman (tanaman jahe tidak memerlukan air yang terlalu banyak
untuk pertumbuhannya, namun pada awal masa tanam diusahakan penanaman pada awal
musim hujan), dan waktu penyemprotan pestisida (dilakukan mulai dari saat
penyimpanan bibit yang untuk disemai dan pada saat pemeliharaan; penyemprotan
pestisida pada fase pemeliharaan biasanya dicampur dengan pupuk organik cair
atau vitamin-vitamin yang mendorong pertumbuhan jahe).
4.
Panen
Pemanenan dilakukan
tergantung dari penggunaan jahe itu sendiri. Bila kebutuhan untuk bumbu
penyedap masakan, maka tanaman jahe sudah bisa dipanen pada umur kurang lebih 4
bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai tua.
Apabila jahe untuk dipasarkan maka jahe dipanen setelah cukup tua. Umur tanaman
jahe yang sudah bisa dipanen antara 10-12 bulan, dengan ciri-ciri warna daun
berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering. Misal tanaman
jahe gajah akan mengering pada umur 8 bulan dan akan berlangsung selama 15 hari
atau lebih. Menurut Warintek (2014), tanaman
jahe umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin
optimum ditandai dengan rasa pedas dan bau harum. Khusus untuk jahe gajah
bisanya dipanen disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya.
Cara panen yang baik,
tanah dibongkar dengan hati-hati menggunakan alat garpu atau cangkul,
diusahakan jangan sampai rimpang jahe terluka. Selanjutnya tanah dan kotoran
lainnya yang menempel pada rimpang dibersihkan dan bila perlu dicuci. Sesudah
itu jahe dijemur di atas papan atau daun pisang kira-kira selama 1 minggu.
Tempat penyimpanan harus terbuka, tidak lembab dan penumpukannya jangan terlalu
tinggi melainkan agak disebar.
Waktu panen sebaiknya
dilakukan sebelum musim hujan. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya
bagian atas tanah. Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim
kemarau tahun pertama ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau tahun
berikutnya. Pemanenan pada musim hujan menyebabkan rusaknya rimpang dan
menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan rendahnya bahan aktif karena
lebih banyak kadar airnya. Produksi rimpang segar untuk klon jahe gajah
berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan untuk klon jahe emprit atau jahe
sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar.
5.
Pascapanen
a. Penyortiran
basah dan pencucian
Sortasi pada bahan segar dilakukan
untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma.
Setelah selesai, timbang jumlah bahan hasil penyortiran dan tempatkan dalam
wadah plastik untuk pencucian. Pencucian dilakukan dengan air bersih, jika
perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Amati air bilasannya dan jika
masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua kali lagi. Hindari
pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung
didalam tidak larut dalam air. Pemakaian air sungai harus dihindari karena
dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit.
Setelah pencucian selesai, tiriskan dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar
sisa air cucian yang tertinggal dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam
wadah plastik/ember.
b. Perajangan
Jika perlu proses perajangan, lakukan
dengan pisau stainless steel dan alasi bahan yang akan dirajang dengan talenan.
Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan kira-kira 5 mm – 7 mm.
Setelah perajangan, timbang hasilnya dan taruh dalam wadah plastik/ember.
Perajangan dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin pemotong.
c. Pengeringan
Pengeringan
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari atau alat pemanas/oven.
pengeringan rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya
dibawah 8%. pengeringan dengan sinar matahari dilakukan diatas tikar atau
rangka pengering, pastikan rimpang tidak saling menumpuk. Selama pengeringan
harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan merata.
Lindungi rimpang tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan
disekitarnya yang bisa mengkontaminasi. Pengeringan di dalam oven dilakukan
pada suhu 50°C-60°C. Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven
dan pastikan bahwa rimpang tidak saling menumpuk. Setelah pengeringan, timbang
jumlah rimpang yang dihasilkan.
d. Penyortiran kering
Selanjutnya
lakukan sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan cara memisahkan
bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah atau kotoran-kotoran
lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran ini (untuk menghitung
rendemennya).
e. Pengemasan
Setelah
bersih, rimpang yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong plastik atau karung
yang bersih dan kedap udara (belum pernah dipakai sebelumnya). Berikan label
yang jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama bahan, bagian dari
tanaman bahan itu, nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih dan
metode penyimpanannya.
f.
Penyimpanan
Kondisi
gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30°C dan gudang
harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar dari
kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan, memiliki
penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta bersih dan
terbebas dari hama gudang.
B.
Oleoresin Jahe
1.
Karakteristik Oleoresin Jahe
Oleoresin
merupakan suatu produk olahan dari rempah yang biasanya berbentuk pasta pada suhu
ruangan dan pada suhu yang lebih tinggi berbentuk minyak kental. Oleoresin
diperoleh dengan cara mengekstrak rempah kering yang bermut baik dengan pelarut
organik yang mudah menguap. Bahan pelarut kemudian dipisahkan dari oleoresin
yang dihasilkan (Considine, 1982).
Oleoresin
jahe merupakan cairan berwarna coklat gelap, dan mempunyai kandungan minyak
atsiri berkisar 15-35%, dan senyawa pembentuk rasa yaitu gingerol, shogaol,
zingeron, bersifat agak kental dengan aroma dan rasa jahe. Oleoresin
jahe yang digunakan dalam pengolahan pangan didapat dari ekstraksi rimpang jahe
segar, jahe kering, atau tepung jahe. Oleoresin mengandung total rasa dan aroma
khas bahan asalnya (Koswara, 1995).
Sifat fisik oleoresin
yaitu memiliki bentuk seperti minyak kental sampai bentuk pasta. Sifat ini
membuat oleoresin sulit bercampur denganmakanan, sehingga untuk membantu
pencampuran sering ditambahkan pelarut yang diijinkan seperti propylene
glycol atau minyak sayur. Keseimbangan minyak yang mudah menguap maupun
bahan-bahan lain miripdengan bahan asli (Heath, 1981).
Jahe mengandung resin
yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat sebagai oleoresin. Keuntungan dari
oleoresin adalah lebih higienis, bentuknya seragam,
terstandardisasi, kandungan senyawa aktifnya lengkap, kadar airnya sangat
rendah atau hampir tidak ada, dan mempunyai masa simpan yang cukup lama.
Oleoresin jahe selain memiliki keuntungan juga mempunyai berbagai kerugian
diantaranya adalah sangat pekat dan kadang-kadang lengket sehingga sulit
ditimbang dengan tepat, sejumlah oleoresin masih menempel pada wadahnya ketika
dituang, dan apabila tidak dikontrol dengan baik masih mengandung residu atau
sisa pelarut yang melebihi batas yang ditentukan (Yuliani, 2009).
Penggunaan oleoresin dalam industri lebih disukai, karena aromanya lebih tajam
dan dapat menghemat biaya pengolahan. Sifat-sifat fisis oleoresin disajikan
pada Tabel 2 dan karakteristik mutu oleoresin jahe disajikan pada Tabel 3
(Oktora, 2007).
Tabel 2. Sifat fisis oleoresin jahe
Sifat Fisik |
Nilai |
Berat
jenis Indeks
bias Titik
didih (oC) Warna |
1,026
- 1,045 1,515
- 1,525 235
– 240 Kuning
cerah, kuning sampaicoklat gelap |
Tabel 3. Karakteristik oleoresin jahe
Parameter |
Kualitas |
Warna
dan bau Kadar
minyak atsiri Indeks
bias minyak Kelarutan |
Coklat
tua, kental sekali, dengan aroma dan bau seperti jahe 18-35
ml/100 gr 1,488
- 1,497 - Alkohol
- larut dengan endapan - Benzyl
benzoat – larut dalam semua perbandingan - Glyserin
– tidak larut - Minyak
mineral – tidak larut - Propilen
glikol – tidak larut - Fixed
oil – sedikit larut |
2.
Ekstraksi OleoresinJahe
Proses
ekstraksi merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan oleoresin jahe.
Kesempurnaan proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
penyiapan bahan sebelum ektraksi, ukuran partikel, pelarut, metode yang
digunakan dan kondisi operasi selama proses ekstraksi berlangsung.
1.
Penyiapan bahan sebelum ekstraksi
Untuk
memudahkan proses ekstraksi perlu dilakukan penyiapan bahan baku yang meliputi
pengeringan bahan dan penggilingan.
Sebelum di ekstraksi
bahan harus dikeringkan dahulu
untuk mengurangi kadar
airnya dan disimpan pada
tempat yang kering agar
terjaga kelembabannya. Dengan pengeringan yang sempurna akan
dihasilkan ekstrak oleoresin yang memiliki kemurnian yang tinggi.
2.
Ukuran partikel
Operasi
ekstraksi akan berlangsung dengan baik bila diameter partikel diperkecil.
Pengecilan ukuran ini
akan memperluas bidang
kontak antara jahe
dengan pelarut, sehingga produk
ekstrak yang diperoleh
pun akan semakin
besar. Sebaliknya ukuran padatan
yang terlalu halus dinilai tidak ekonomis karena biaya proses penghalusannya
mahal dan semakin sulit dalam pemisahannya dari larutan.
3.
Pelarut
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut, yaitu:
1.
Sifat pelarut, terdiri dari:
- Selektivitas
- Koefisien
- Densitas
- Tegangan antar permukaan
- Kemudahan pengambilan kembali pelarut
- Keaktifan secara kimia
2.
Jumlah pelarut
Semakin banyak
jumlah pelarut semakin
banyak pula jumlah
produk yang akan diperoleh, hal ini dikarenakan:
- Distribusi
partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga memperluaspermukaan kontak.
- Perbedaan
konsentrasi solute dalam pelarut dan padatan semakin besar (Gamse, 2002).
Dalam
pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah daya
melarutkan oleoresin, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan
pengaruh terhadap alat peralatan ekstraksi. Pada umumnya pelarut yang sering
digunakan adalah etanol karena etanol mempunyaipolaritas yang tinggi sehingga
dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik
yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil
(keton) termasuk dalam pelarut polar.
Etanol mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga
tidak beracun dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol
larut dalam air, dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin
dan gum. Larutnya komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurnian
oleoresin. Keuntungan menggunakan pelarut
etanol dibandingkan dengan aseton
yaitu etanol mempunyai kepolaran
lebih tinggi sehingga
mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam
lemak, karbohidrat, dan senyawa organik
lainnya.
4.
Metode yang digunakan dan kondisi operasi
selama proses ekstraksi berlangsung
Ekstraksi
oleoresin dapat dilakukan dengan cara antara lain ekstraksi dengan cara
perkolasi, ekstraksi kontinyu
dan ekstraksi cara
sokhlet (batch). Waktu ekstraksi merupakan hal
yang berpengaruh dalam
ekstraksi oleoresin jahe
ini. Semakin lama waktu ekstraksi
maka semakin banyak pula oleoresin yang didapat. Namun waktu yang terlalu lama menyebabkan
biaya operasi semakin tinggi. Begitu juga dengan suhuoperasi,
dimana semakin tinggi
suhu maka jumlah
oleoresin yang terekstrak
pun semakin banyak namun juga
dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45oC.
Berikut
akan dibahas mengenai berbagai teknologi pemisahan yang dapat diterapkan untuk
mendapatkan senyawa oleoresin dari
jahe.
a. Distilasi Uap (steam distilation)
Distilasi
uap adalah suatu proses yang mengontakkan
steam dengan bahan yang diproses
secara langsung. Metode ini dilakukan untuk mengambil cairan
yang tidak larut dalam air dari padatan. Misalnya, pengambilan oleoresin jahe
dari rimpang jahe. Ketika rimpang jahe dikontakkan dengan steam, maka minyak
campuran oleoresin dan air yang
terkandung di dalamnya akan mendidih pada suhu yang lebih rendah dari titik
didih oleoresin dan air itu sendiri. Hal ini sangat
menguntungkan, karena dengan suhu operasi yang rendah maka kerusakan
bahan-bahan yang terkandung di dalam rimpang jahe dapat dikurangi. Uap yang
terbentuk selanjutnya diembunkan, sehingga terbentuk dua lapis
cairan yang tidak
saling larut, yaitu
lapisan minyak pada
bagian atas dan lapisan
air pada bagian
bawah. Pada tahap selanjutnya
kedua lapisan ini dapat dipisahkan dengan mudah (Sediawan, 2000). Distilasi uap
tidak memiliki kelemahan untuk melakukan proses pemisahan oleoresin dari jahe.
b. Ekstraksi padat
cair (Leaching)
Leaching
atau ekstraksi padat cair adalah proses untuk menghilangkan komponen terlarut
dalam suatu padatan dengan menggunakan pelarut. Interaksi diantara komponen
terlarut dari padatan ini sangat berpengaruh pada proses ekstraksi. Pada proses
ekstraksi ini, komponen terlarut yang terperangkap di dalam padatan, bergerak
melalui pori-pori padatan. Zat terlarut berdifusi keluar permukaan partikel
padatan dan bergerak ke lapisan film sekitar padatan, selanjutnya ke larutan.
Kelemahan proses leaching antara
lain:
·
Adanya sedikit pelarut yang tertinggal
dalam produk. Untuk produk-produk tertentu, terutama makanan, adanya sedikit
pelarut tersisa tersebut perlu dihindari. Usaha-usaha penghilangan pelarut
dalam produk merupakan masalah pemisahan yang perlu dipelajari lebih lanjut.
·
Memerlukan suhu tinggi karena daya larut
akan naik dengan naiknya suhu. Suhu tinggi ini sering menimbulkan kerusakan
bahan, sehingga kualitas produk turun.
·
Selektivitas pelarut tidak sempurna
sehingga ada komponen lain yang ikut terambil dalam ekstrak. Misalnya pada
ekstraksi minyak atsiri dari bunga-bungaan, diperoleh produk yang disebut concrete, yang masih perlu dimurnikan
lagi.
Namun,
proses leaching juga memiliki keunggulan yaitu harga alat proses nya yang lebih
murah serta alatnya mudah digunakan.
c. Ekstraksi
Superkritis
Keadaan
superkritis adalah fluida yang kondisinya berada di atas tekanan dan suhu
kritis, yang mempunyai sifat di antara sifat cairan dan sifat gas. Fluida dalam
keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai pelarut pada ekstraksi dengan beberapa
kelebihan, antara lain:
·
Kekuatan pelarut dapat diatur sesuai
keperluan dengan mengatur kondisi operasinya.
·
Daya larutnya tinggi karena bersifat seperti
cairan.
·
Karena mempunyai sifat seperti gas, maka
viskositasnya rendah sehingga koefisien perpindahan massanya tinggi.
·
Pemisahan kembali pelarut dari ekstrak
cukup cepat dan sempurna, karena pada keadaan normal, fluida tersebut berupa
gas, sehingga dengan penurunan tekanan, pelarut otomatis keluar sebagai gas.
·
Dapat memakai fluida yang tidak mencemari
lingkungan dan tidak mudah terbakar (misalnya CO2).
·
Difusi dalam padatan bergerak cepat.
Namun,
proses ini tetap memiliki kelemahan yaitu harga alat yang sangat mahal
dikarenakan tekanan operasi yang sangattinggi sehingga diperlukan peralatan
yang tahan pada tekanan tinggi (Sediawan, 2000).
d. Pengepresan
Mekanis
Pengepresan mekanis
merupakan suatu cara
ekstraksi minyak atau
lemak, terutama untuk bahan
yang berasal dari
biji-bijian. Cara ini
dilakukan untuk memisahkan minyak
dari bahan yang
berkadar minyak tinggi
(30-70%). Pada pengepresan
mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak
dipisahkan dari bijinya. Perlakuan pendahuluan
tersebut mencakup pembuatan
serpih, perajangan dan penggilingan
serta tempering atau
pemasakan. Namun, proses
inimemiliki kelemahan yaitu
membutuhkan energi pengepresan
yang sangat besar
serta banyaknya minyak yang
masih terlarut dalam
padatan yakni sekitar
7-8%.
D.
Minyak Atsiri Jahe
Minyak atsiri jahe dapat diperoleh cara
penyulingan. Bahan baku yang digunakan berasal dari jahe kering yang diambil
dari jahe segar berumur 9 bulan. Sebelumdisuling jahe kering digiling kasar
dengan alat hammer mill, selanjutnya segera disuling supaya
minyakatsirinya tidak menguap (Yuliani, 2009).
Ada tiga metode penyulingan, yang
pertama metode uap langsung (steam distillation), kedua metode uap dan
air biasa disebut dengan metode kukus (water andsteam distillation) dan
ketiga metode perebusan (water distillation). Penyulingan dengan bahan
jahe keringlebih cocok dilakukan secara dikukus. Bila jahe yangdisuling dalam
jumlah banyak, maka sebaiknya jahedalam ketel dibagi atas beberapa fraksi
untukmemudahkan dan meratakan aliran uap dengan kerapatan bahan dalam ketel (bulk
density) 200-800 g/l. Proses penyulingan jahe ini membutuhkan waktu 8 jam
dengan rendemen minyak sekitar 3-4,5%. Untuk jahe basah sebaiknya disuling
dengan sistem uap langsung dengan tekanan 2,5 atm (Rusli dan Risfaheri, 1992 dalam Yuliani, 2009).
Minyak atsiri dalam jahe
kering berkisar 1-3%.
Minyak atsiri dalam jahe terdiri dari zingiberol, zingiberan, α-β
phellandren, methyl heptenon, cineol, citral,
borneol, linalool, asetat, dan haprilat, selain itu juga
mengandung phenol mungkin chavicol, seskuiterpen, zingeron,
oleoresin, kamfena, limonen, sineol,sitral, dan felandren (Djubaedah,
1986 dalam Oktora, 2007). Di samping
itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam
oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol
(Oktora, 2007).
Menurut informasi dari
beberapa eksportir minyak atsiri dalam Ma’amun (2006), minyak atsiri
jahe dari Indonesia agak sulit untuk diterima di pasar internasional. Hal ini
disebabkan minyak atsiri jahe dari Indonesia selalu menunjukkan angka
putaran optik positif (+), yang hal tersebut berbeda dengan standar yang
berlaku, di mana besaran putaran optik yang dikehendaki adalah bernilai negatif
(-).Hal ini juga didukung oleh Anon (2005) dalam
Ma’amun (2006) yang menunjukkan bahwa seluruh sampel minyak jahe yang
dianalisis memiliki angka putaran optik positif.
Kandungan
senyawa zingiberen pada jahe
mempunyai sifat putaran optik negatif, sementara kamfen bersifat putar optik positif. Komposisi dari senyawa-senyawa
tersebut berbeda pada setiap jenis minyak jahe. Perbedaan komposisi tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis atau varietas, teknik budidaya,
dan kondisi lingkungan tumbuh. Minyak jahe yang banyak diperdagangkan di pasar
luar negeri berasal dari Cina dan India, di mana kedua negara tersebut tentu
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia (Ma’amun, 2006).
Tabel
4. Karakteristik minyak atsiri jahe Indonesia
Karakteristik |
Minyak Atsiri Jahe |
Standar Internasional ISO 7355 : 1995 |
||
Jawa Tengah |
Lampung |
Eksportir |
||
Berat jenis, 250/250C |
0,8965 |
0,8959 |
0,8916 |
0,870 – 0,890 |
Indeks bias, 250C |
1,4890 |
1,4878 |
1,4868 |
1,480 – 1,490 |
Putaran optik |
+120 40’ |
+100 30’ |
+60 20’ |
(-200) – (-450) |
Kelarutan dalam etanol 90% |
Larut 1 : 7 |
Larut 1 : 5 |
Larut 1 : 5 |
Larut 1 : 4 |
Bilangan asam |
2,40 |
2,82 |
2,16 |
2,00 – 5,00 |
Bilangan ester |
10,20 |
16,85 |
20,45 |
10,00 – 40,00 |
Sumber:
Ma’amun (2006)
Keterangan:
-
Minyak atsiri jahe Jawa Tengah merupakan minyak
atsiri yang diperoleh dari jahe emprit kuning kering yang didapat petani
Boyolali, Jawa Tengah.
-
Minyak atsiri jahe Lampung merupakan minyak
atsiri yang diperoleh dari rimpang jahe emprit kuning yang didapat dari
pengumpul di Lampung.
-
Minyak atsiri jahe ekportir diperoleh dari PT
Scent Indonesia.
E.
Aplikasi dan Standarisasi Mutu Hasil Olahan Jahe
1.
Hasil Olahan dan Aplikasi Jahe
Komponen
bioaktif pangan yang menimbulkan efek fisiologis atau biasa disebut dengan
khasiat pangan banyak di temukan dalam rempah salah satunya yaitu jahe. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu janis rempah yang
sejak dulu dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Manurut Tang dan Eisenbrand (1992) khasiat jahe ditimbulkan oIeh
kandungan senyawa bioaktif jahe. Senyawa bioaktif jahe, seperti oleoresin, gingerol, dan shogaol
sudah banyak dteliti dari aspek aktivitasnya sebagai antibakteri, antitusif,
dan antioksidan.
Dari jahe dapat dibuat berbagai produk yang sangat bermanfaat
dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, kosmetik dan makanan/minuman.
Ragam bentuk hasil olahannya, antara lain berupa simplisia, oleoresin, minyak atsiri dan serbuk.
a. Rimpang
Segar
· Bumbu
masak
Jahe sering kali di tambahkan pada
masakan ayam maupun kari ikan dan ditambahkan jahe sebagai penyedap aroma
maupun rasanya. Dengan dicampur jahe, aroma masakan jadi bertambah sedap
dan bau anyir dari ikan pun hilang.
· Makanan
Sensasi panas jahe memikat banyak lidah. Khasiatnya menjadikan jahe
salah satu alternatif kesehatan murah bagi orang-orang. Saat ini, baik itu di
Indonesia maupun di belahan dunia lainnya, produk olahan jahe telah menjamur
dan mudah dijumpai di pasar manapun dengan harga yang terjangkau. Berbagai
produk berbasis jahe sudah banyak di kenal diantaranya yaitu ginger cookies, dan permen jahe (Tentang
Jahe, 2012)
· Minuman
fungsional
Sejak akhir abad
ke-20, jahe selalu digunakan dalam formula makanan dan minuman kesehatan,
seperti STMJ (Susu Telur Madu Jahe), wedang jahe dan lainnya. Hal ini didasari
oIeh khasiat jahe yang secara tradisi dan empiris dirasakan oIeh masyarakat,
terutama sebagai bahan anti rnasuk-angin, walaupun secara ilmiah belum
dbuktikan efeknya pada kesehatan manusia (Admin, 2012). Jahe memiliki
rasa pedas sehingga dapat memberikan rasa hangat ketika di konsumsi. Rasa dominan pedas dari jahe di sebabkan oleh
senyawa keton bernama zingeron (Info
kuliner pendidikan, 2012).
Selain wedang
jahe, bahan minuman berbasis jahe lainya yaitu instant jahe dan sirup
jahe. Instan jahe merah dapat dibuat dari
rimpang jahe merah segar, yang dicuci bersih kemudian diparut atau diblender, dan disaring untuk memperoleh ekstrak jahe merah. Ekstrak jahe
merah dimasak dengan gula, tanaman herbal, kopi atau susu hingga kental. Adonan
selanjutnya dipanaskan hingga kering dan berbentuk
kristal. Untuk memperoleh instan jahe merah yang memiliki daya simpan tinggi, kristal dihaluskan untuk memperkecil partikel dan
mengurangi kadar air, kemudian disimpan di dalam wadah
tertutup (Tajibu, 2012).
Sirup jahe merah merupakan salah satu bentuk diversifikasi produkjahe merah segar. Cara pengolahannya dengan mirip dengan
pembuatan instan jahe merah. Pertama, rimpang jahe mareh dicuci bersih, dikupas kemudian diblenderuntuk memperoleh ekstrak. Pengolahan
jahe merah menjadi sirup jahe merah dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak jahe merah dan tanaman herbal hingga
mendidih.Diamkan dan saring larutan jahe merah selama 2 kali dengan kain sampai
bersih. Sari jahe merah tersebut direbus kembali dan ditambahkan gula pasir ke dalamnya. Untuk mengemas sirup jahe
merah, digunakan botol yang terlebih dahulu disterilkan dengan cara dikukus
selama 20 menit pada air mendidih. Dalam keadaan panas, sirup dimasukan dalam botol hingga tersisa
jarak 3-4 cm dari ujung botol. Botol ditutup dan disegel. Untuk mencegah pertumbukan
mikroba, sirup dipasteurisasi dengan cara merendam sirup dalam air mendidih
selama 30 menit (Tajibu, 2012).
·
Obat tradisional
Jahe banyak digunakan sebagai obat
herbal (Weidner dan Sigwart 2001). Hasil penelitian farmakologi menyatakan
bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien
dalam menghambat radikal bebas superoksida dan hidroksil yang dihasilkan oleh
sel-sel kanker, dan bersifat sebagai antikarsinogenik, non-toksik dan
non-mutagenik pada konsentrasi tinggi (Manju dan Nalini 2005). Beberapa
senyawa, termasuk gingerol, shogaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti
efek antioksidan, antiinflammasi, analgesik, antikarsinogenik dan kardiotonik
(Hernani dan Winarni, 2009). Pengobatan
menggunakan jahe sudah banyak di kembangkan untuk mengobati berbagai penyakit
seperti diare.
b. Jahe Kering
Pengembangan produk jahe kering sangat menguntungkan dan
mampu mencegah terjadinya pengurangan kualitas dan flavour jahe
segar akibat terlalu lama disimpan. Beberapa produk yang dapat dikembangkan,
yaitu:
· Bubuk jahe
Bubuk jahe merupakan
komponen utama dalam resep bumbu kari. Disamping itu digunakan juga dalam
perusahaan bir, brandi, dan anggur jahe. Dalam pembuatan bubuk jahe, bahan yang
digunakan adalah jahe kering sempurna (kadar air sekitar 8-10%). Bahan tersebut
kemudian digiling halus dengan ukuran, sekitar 50-60 mesh.
·
Oleoresin jahe
Oleoresin jahe merah merupakan campuran yang homogen
antara resin dan minyak atsiri yang diperoleh darihasil ekstraksi jahe kering menggunakan pelarut organik. Oleoresin jahe merah mempunyai rasa yang pedas dan
aroma yang cukup kuat seperti jahe merah dalam bentuk segar. Bentuk oleoresin adalah cairan pekat berwarna
cokelat tua. Oleoresin umumnya digunakan dalam industri kue, daging, makanan kaleng, dan bumbu masak (Tajibu, 2012).
·
Minyak atsiri jahe
Minyak atsiri adalah minyak yang
mudah menguap yang terdiri atas campuran zat yang mudah menguap dengan
komposisi dan titik didih yang berbeda. Sebagian besar minyak atsiri diperoleh
dengan cara penyulingan atau hidrodestilasi.
Dewasa ini, minyak atsiri banyak
digunakan dalam berbagai industri, seperti industri parfum, kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent. Biasanya, minyak atsiri
yang berasal dari rempah digunakan sebagai flavoring
agent makanan. Bahkan dewasa ini sedang dikembangkan penyembuhan penyakit
dengan aromatheraphy, yaitu dengan
menggunakan minyak atsiri yang berasal dari tanaman.
Minyak atsiri yang disuling dari jahe
berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama
penyulingan dapat berlangsung sekitar 10 – 15 jam, agar minyak dapat tersuling
semua. Kadar minyak dari jahe sekitar 1,5 – 3%. Minyak jahe mempunyai banyak
efek biologis yang menguntungkan yaitu mencegah kerusakan akibat oksidasi,
harus diperhatikan cara penyulingan, penyimpanan dan penggunaannya sebagai
supplemen serat (Hernani dan Winarni, 2009).
2.
Standarisasi Mutu Hasil Olahan Jahe
a. Jahe Segar
Salah satu
permasalahan dalam budidaya jahe adalah masih rendahnya produktivitas dan mutu
jahe. Sampai saat ini, produktivitas rata-rata jahe nasional adalah 5 – 6
ton/ha (setara dengan 109 – 127 g bobot rimpang per rumpun). Disentra produksi
jahe di Jawa Barat produktivitas jahe mencapai 6,35 ton/ ha, sedangkan di Jawa
Tengah 6,78 ton/ha. Rendahnya produktivitas jahe, selain disebabkan oleh cara
budidaya yang belum optimal, juga disebabkan oleh penggunaan bahan tanaman yang
kurang bermutu (Sukarman, et. al,
2010).
Dalam proses pengolahan
jahe, pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi termasuk kandungan
senyawa yang berperan dalam performansinya, harus tetap diperhatikan karena
berkaitan dengan hasil akhir olahan. Jahe segar yang baru
dipanen dengan garpu atau cangkul dan tidak merusak rimpang kemudian diangkut
dengan peti kayu atau keranjang bambu ketempat pencucian sambil dijaga
kelembabannya. Rimpang harus segera dicuci dan
dibersihkan dari tanah yang melekat. Pencucian disarankan menggunakan air yang
bertekanan, atau dapat juga dengan merendam jahe dalam air, kemudian disikat
secara hati-hati. Setelah pencucian jahe ditiriskan dan diangin-anginkan dalam
ruangan yang berventilasi udara yang baik, sehingga air yang melekat akan
teruapkan. Kemudian jahe dapat diolah menjadi berbagai produk atau langsung
dikemas dalam karung plastik yang berongga dan siap untuk diekspor.
Tabel 5. Syarat mutu fisik jahe segar
Penggolongan Jahe Segar Berdasarkan
Mutu No |
Karakteristik |
Syarat |
Metode Pengujian |
1. |
Kesegaran jahe |
Segar |
Visual |
2. |
Rimpang bertunas |
Tidak ada |
Visual |
3. |
Kenampakan irisan melintang |
Cerah |
Visual |
4. |
Bentuk rimpang |
Utuh |
Visual |
5. |
Serangga hidup |
Bebas |
visual |
Tabel 6. Syarat mutu jahe segar
Karakteristik |
Nilai |
Kadar
air, maksimum Kadar
minyak atsiri, minimum Kadar abu, maksimum Berjamur/berserangga Benda
asing, maksimum |
12% 1,5% 8,0% Tidak ada 2,05% |
Sumber: Oktora (2007)
Keterangan:
Kesegaran |
: |
Jahe dinyatakan segar
apabila kulit jahe tampak halus, mengkilat dan tidak keriput. |
Bentuk rimpang |
: |
Rimpang jahe segar
dinyatakan utuh bila cabang-cabang dari rimpang jahe tidak ada yang patah,
dengan maksimum 2 penampang patah pada pangkalnya. |
Rimpang bertunas |
: |
Jahe segar dinyatakan
mempunyai rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa ujung dari
rimpang telah bertunas. |
Kenampakan irisan |
: |
Jahe segar bila diiris
melintang pada salah satu rimpangnya maka penampangnya berwarna cerah khas
jahe segar. |
b. Jahe kering
Tabel 7.
Syarat mutu jahe kering
Karakteristik |
Syarat Mutu |
Cara Pengujian |
Bau dan rasa |
Khas |
Organoleptik |
Kadar air, % (bobot/bobot), maks |
12,0 |
SP-SMP-7-1975 (ISO R 939-1969 (E)) |
Kadar minyak atsiri,(ml/100g),min |
1,5 |
SP-SMP-37-1975 |
Kadar abu, % (bobot/bobot), maks |
8,0 |
SP-SMP-35-1975 (ISO R 929-1969 (E)) |
Berjamur dan berserangga |
Tak ada |
Organoleptik |
Benda asing,% (bobot/bobot), maks |
2,0 |
SP-SMP-32-1975 (ISO R 937-1969 (E)) |
Sumber: SNI 01-3393-1994
c. Minyak atsiri
Standar
mutu minyak atsiri jahe seperti terlihat pada Tabel 6 yang mengacu pada
ketentuan EOA (Essential Oil Association).
Tabel 8. Persyaratan mutu minyak atsiri jahe menurut
standar EOA
No |
Spesifikasi |
Persyaratan |
1. |
Warna |
Kuning
muda – kuning |
2. |
Bobot
jenis 25/25°C |
0,877
– 0,882 |
3. |
Indeks
bias (nD25) |
1,486
– 1,492 |
4. |
Putaran
optic |
(-28°)
–(-45°) |
5. |
Bilangan
penyabunan, maksimum |
20 |
6. |
Kelarutan
dalam etanol 80% |
Larut
dengan sedikit keruh |
Sumber:Yuliani
(2009)
d.
Oleoresin
Standar
mutu oleoresinjahe mengacu pada ketentuan EOA (Essential Oil
Association) yang terlihat pada Tabel 7.
Tabel
9. Persyaratan mutu oleoresin jahe menurut standar EOA
Karakteristik
/ Characteristic |
Persyaratan
/ Standard |
Penampakan dan
bau |
Coklat
tua,kental sekali dengan aroma khas jahe |
Kadar minyak
atsiri |
18-35 ml/100 g |
Indeks bias
minyak |
1,4880-1,4970 |
Putaran optic |
(-30)-(-60) |
Kelarutan |
-
Alkohol - larut dengan endapan -
Benzyl benzoat – larut dalam semua perbandingan -
Glyserin – tidak larut -
Minyak mineral – tidak larut -
Propilen glikol – tidak larut -
Fixed oil – agak larut |
Sisa pelarut
dalam oleoresin |
|
Isopropil alcohol |
Maksimum 50 ppm |
Pelarut yang
mengandung: |
|
Khlor |
Maksimum 30 ppm |
Aseton |
Maksimum 30 ppm |
Heksan |
Maksimum 25 ppm |
Metanol |
Maksimum 50 ppm |
Sumber:
Yuliani (2009)
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Jahe memiliki tiga varietas, yaitu jahe
putih besar (jahe gajah), jahe putih (jahe emprit) kecil, dan jahe putih merah.
2.
Jahe putih besar umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku makanan dan minuman, jahe
putih kecil biasanya digunakan untuk ramuan obat-obatan, atau diekstrak
oleoresin dan minyak atsirinya, sedangkan jahe merah umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
3.
Syarat tumbuh jahe yaitu pada tanah
bertekstur lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik, serta banyak
mengandung bahan organik atau humus dan berdrainase baik. Jahe tumbuh optimal
pada pH 6,8-7,0 dan suhu 20-35°C, dengan curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun serta
pada ketinggian 0-2.000 m.
4.
Tanaman jahe
umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin optimum
ditandai dengan rasa pedas dan bau harum, dengan ciri-ciri warna
daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering.
5.
Penanganan pascapanen jahe meliputi
penyortiran basah dan pencucian, perajangan, pengeringan, penyortiran kering,
pengemasan, dan penyimpanan.
6.
Metode yang digunakan untuk mengekstraksi
oleoresin jahe antara lain destilasi uap, ekstraksi padat cair, ekstraksi
superkritis, dan pengepresan mekanis.
7.
Faktor yang mempengaruhi kesempurnaan
proses ekstraksi jaheantara lain, penyiapan bahan sebelum ektraksi, ukuran
partikel, pelarut, metode yang digunakan, dan kondisi operasi selama proses
ekstraksi berlangsung.
8.
Minyak
atsiri jahe dapat diperoleh cara penyulingan. Bahan baku yang digunakan berasal
dari jahe kering yang diambil dari jahe segar berumur 9 bulan. Proses penyulingan
jahe ini membutuhkan waktu 8 jam dengan rendemen minyak sekitar 3-4,5%.
9.
Minyak atsiri dalam jahe terdiri dari zingiberol,
zingiberan, α-β
phellandren, methyl heptenon, cineol, citral,
borneol, linalool, asetat, dan haprilat, selain itu juga
mengandung phenol mungkin chavicol, seskuiterpen, zingeron,
oleoresin, kamfena, limonen, sineol,sitral, dan felandren.
10.
Sifat putaran
optik minyak atsiri jahe Indonesia selalu menunjukkan angka positif, sementara
standar internasional mensyaratkan angka putaran optik negatif.
11.
Hasil olahan jahe segar dapat berupa bumbu
masak, makanan (cookies dan permen),
minuman fungsional (wedang jahe, jahe instan, sirup), dan obat tradisional
(jamu). Sedangkan hasil olahan jahe kering dapat berupa bubuk, oleoresin, dan
minyak atsiri.
DAFTAR PUSTAKA
Admin, 2012. Komponen Bioaktif Rimpang
Jahe: http://mipa-farmasi.blogspot.com/2012/03/komponen-bioaktif-rimpang-jahe.html
(diakses pada 24 Mei 2014).
Asosiasi Petani dan Produsen Jahe Indonesia. Kandungan
Minyak Atsiri Jahe Segar dan Jahe Kering. http://jaheindonesia.com/ (diakses
pada 5 Juni 2014).
Bermawie, N. 2003.
Pengenalan Varietas Unggul dan Nomor Harapan Tanaman Rempah dan Obat. Badan
Diklat Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Bogor.
Bermawie, N. dan S.
Purwiyanti. 2014. Botani, Sistematika dan Keragaman Kultivar Jahe. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.
Considine, D.M., and G. D. Considine. 1982. Foods and
Food Encyclopedia.Van
Nastrand Reinhold Company, New
York.
Depkes,
1989. Vedemekum bahan Obat alami : 78 - 83.
Gamse, T. 2002. Liquid-Liquid Extraction
and Solid-Liquid Extraction‖,
Institute of Thermal Process and
Environmental Engineering, Graz University of Technology, hal. 2-24.
Harmono dan A. Andoko. 2005. Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Heath.
1981. Source Book of Flavors.An
Avi Book Published by Van Nastrand Reinhold, New York.
Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil
Olahannya. Pusat Sinar Harapan, Jakarta.
Ma’mun. 2006. Karakteristik
Beberapa Minyak Atsiri Famili Zingiberaceae
dalam Perdagangan.
Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 91 –
98.
Paimin, F. B. dan Murhananto. 2008. Seri Agribisnis Budi Daya Pengolahan
Perdagangan JaheCetakan XVII. Penebar Swadaya, Jakarta.
Purwiyanti, S. 2012. Keragaman Genetik Plasma Nutfah
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Berdasarkan Penanda Morfologi dan Penanda RAPD. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rukmana,
R. 2000. Usaha Tani JaheCetakan ke-8.
Kanisius, Yogyakarta.
Hasanah,
Maharani, Sukarman, Devi Rusmin. Tanpa Tahun. Teknologi Produksi Benih Jahe.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Hernani
dan Winarni. 2009. Kandungan Bahan Aktif Jahe Dan Pemanfaatannya Dalam Bidang
Kesehatan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian: Bogor .
Info Kuliner. 2012. Bumbu Masak Rempah,
Daun, dan Bunga. http://infokuliner.pendidikanriau.com/2012/03/bumbu-masak-rempah-daun-bungadan-buah.html
(diakses pada 24 Mei 2014).
Oktora, Rosevicka Dwi, Aylianawati,
Yohanes Sudaryanto. 2007. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe. Widya Teknik Vol. 6, No. 2, 2007 (131-141).
Ramadhan, Eka. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu
dan Jumlah Stage pada Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale Rose) Secara Batch. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sari, H. C., S. Darmanti dan E. D. Hastuti. 2006. Pertumbuhan Tanaman Jahe Emprit(Zingiber
Officinale Var. Rubrum) pada Media Tanam Pasir dengan Salinitas yang
Berbeda. Buletin Anatomi dan Fisiologi. Vol. XIV (2) : 19-29.
Sediawan, W.B. 2000. Berbagai Teknologi
Proses Pemisahan, Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Bakar
Nuklir, vol.5, hal. 10-11.
Sukarman, Rusmin, dan Melati. 2010.
Viabilitas Benih Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Pada Cara Budidaya Dan Lama
Penyimpanan Yang Berbeda. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik: http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya-jahe/sukarman-dkk-2/
(diakses pada 4 Juni 2014).
Tajibu. 2012. Diversifikasi
Produk Jahe Merah Di Kabupaten Halmahera
Barat Untuk Kesejahteraan Masyarakat. http://belongstoj2000.wordpress.com/2013/04/29/makalah-diversifikasi-produk-jahe-merah-di-kabupaten-halmahera-barat-untuk-kesejahteraan-masyarakat/
(diakses pada 24 Mei 2014)
Tentang Jahe,
2012. Produk Olahan Jahe. http://tentangjahe.blogspot.com/2012/09/produk-olahan-jahe.html
(diakses pada 24 Mei 2014).
Wahyuni, S., D.H. Xu, N. Bermawie, H. Tsunematsu dan
T. Ban. 2004. Skrining ISSR Primer sebagai Studi Pendahuluan Kekerabatan Antar
Jahe Merah, Jahe Emprit dan Jahe Besar. Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
15 :33-42.
Warintek.
2014. Jahe. (On-line). http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/jahe.pdf. (diakses 30 Mei 2014).
Yuliani, Sri dan Sari Intan Kailaku. 2009.
Pengembangan Produk Jahe dalam Berbagai Jenis Industri. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 5 2009.
Yuliani, S., Hernani dan Anggraeni, 1991. Aspek pasca
panen jahe. Edisi Khusus Littro. VII (1): 30 - 37.
Yulianto, F. K. dan Parjanto. 2010. Analisis Kromosom
Jahe (Zingiber officinale var.
officinale). Agrosains. Vol 12 (2) : 60-65.
TUGAS
TERSTRUKTUR
TEKNOLOGI
REMPAH-REMPAH DAN MINYAK ATSIRI
“VARIETAS,
BUDIDAYA, PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN, SERTA PROSES EKSTRAKSI DAN APLIKASI
OLAHAN JAHE”
Disusun Oleh:
Mira Pertiwi A1M011041
Arfini Hidayanti A1M011051
Titin Septiani A1M011053
Nisa Amanda A1M011060
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2014
Komentar
Posting Komentar